CINTA DAN PENCAPAIAN



Salamku

Sudah lama aku tak berucap pada surat yang menginginkan kertas-kertas berkata dan mengatakan dengan sepenuh hati, apa yang diinginkan penulisnya. Begitulah besar keinginanku supaya penulis mengungkapkan isi hatinya. Segala yang ia rasakan dan rahasiakan harus diungkapkan. Tentunya dengan kata dan diksi yang mewakili kemegahan hati yang hadir dengan ketulusannya. Tiada terus berucap pilu dalam setiap kesendiriannya atau meratapi nasib yang memisahkannya. Penulis harus mengatakan dirinya kesepian atau mengejar nasibnya menjemput pujaan yang ia impikan. Lewat lisan, sekalipun telah lama tak bertemu. Maupun surat yang harus ia tuliskan dengan segenap jiwanya tanpa pernah menunggu balasan atasnya. Seharusnya penulis mampu mengungkapkan semuanya dengan daya tarik katanya. Aku tau penulis sanggup merangkai kata puitis itu. Kata yang membuatnya bangun dan agung diantara jurang yang siap menelannya. Keyakinanku pada penulis begitu kuatnya. Karena aku tau penulis harus memperjuangkan hidupnya. Cintanya. Tiada yang lebih menyakitkanku selain penulis yang diam dan tak pernah ingat kelihaiannya menulis. Mengungkapkan setiap keinginan, harapan, semangat dan sikap secara detail dan rinci. Supaya tiada beban dan penasaran setiap pembaca yang menanti untuk membaca setiap gubahannya. Maka, aku rasa penulis harus mengungkapkannya dalam surat ini. Tentunya dengan hati yang penuh dan terisi,lalu menuangkan segala yang ada tertumpah ruah dalam suratnya ini.

Aku mencintaimu bukan karena cinta yang menghadirkan dirimu dalam hidupku. Tapi, aku mencintaimu karena aku percaya bahwa yang Maha Pengasihlah yang menghadirkan dirimu sebagai pasangan terbaik untukku.”

Bagaimana aku mampu lupa, hatiku terasa begitu penuh saat kau balas setiap perkataanku. Kau balas dengan diammu. Hanya soal kabar yang membuatnya lebih menarik sehingga kau berkata padaku. Diammu adalah rasa iriku, rasa iriku kenapa masih saja tak sanggup menarikmu lebih dalam. Menengok entah sekilas. Entah kenapa setiap diammu aku percaya dan yakin. Waktumu bukan untuk menanggapi setiap ocehanku yang tak berkesudahan. Ocehan yang seakan begitu khawatir ketika tak sanggup membuatmu mencintaiku, khawatir ketika kau tak tertarik untuk melirik cintaku yang begitu besarnya. Begitulah diriku dengan segala keras kepala dan membuatmu jadi takut bahkan hilang kenyamanan. Diriku yang selalu mencoba menjalin tali-tali cinta supaya benang merahnya jelas dan menyala. Diriku yang tak pernah mengerti bagaimana menghormatimu dengan perasaannya. Diriku yang tak pernah mencoba menelisik bagaimana seorang wanita dengan segala kecantikan, keanggunan, kepintaran dan talentanya membawa perasaanya. Bagaimana diriku menjalin tali itu jadi benang merah? Tanpa pernah aku coba mengertimu. Aku hanya mengenalmu, namamu, asalmu dan keluargamu. Tapi tak pernah sekalipun aku mengerti dirimu. Bahkan untuk menghayati dan berkorban untukmu tak pernah sampai di situ tahapku. Aku hanya mampu sampai tahap mengenalmu. Tahap paling bawah dari segala tahap mencintai sepenuhnya. Walaupun aku sendiri yakin kalau cintaku lebih besar dari tahapan itu.

Betapa kumengerti dan pahami ketika kuungkapkan perasaanku padamu. Dengan jawaban yang keluar dari kata-kata itu. Kata yang memukul tapi memberikanku semangat. Kata yang begitu menampar tapi memberikan gejolak. Kata yang selalu ingin membuatku berani. Menantang segala resah dan kesendirian hati. Kesepian di antara cinta yang menyala tanpa pencapaian. Memang aku tak mengharapkan pencapaian. Sebab bila sudah tercapai ia akan hilang rasanya. Musnahlah sudah cintaku bila mengharapkan sebuah pencapaian. Aku tak ingin cintaku seperti itu. Cinta bukan soal pencapaian dan mendapat balasan. Cinta adalah anugrah dari-Nya yang mampu menghadirkan nyawa terindah sebagai pasangannya. Yang selalu membuat berdesir dan terus bahagia memiliki, memelihara dan menjaganya. Bukan cinta yang selesai dan terbuang setelah pencapaian cintanya terbalaskan oleh orang yang dicintai. Aku tidak mau mencapai apa-apa. Aku hanya mau mencintaimu setulusnya hatiku. Setulus aku menjaga dan memeliharanya.

“ Akhirnya rindu itulah yang menemani hidupku, menemani jiwaku yang bertumpah ruah akan cinta. Bukan kehampaan karena benang merah yang belum menyatu antara kita. Begitulah diriku mencintaimu.”

Salamku untukmu selalu


Kairo, 15 April 2017
Suyuthiahmad

3 komentar:

Hafidhoh Aas mengatakan...

good , kreatif, sukses pokoknya

Ahmad Jalalludin mengatakan...

Makasih komentarnya hafishoh ehehee. Amin. :)

Anonim mengatakan...

Mantap Djiwa. Ditunggu karya-karya hebat selanjutnya bung.

My Instagram