3 min Reading
3
Comments
Salamku
Sudah
lama aku tak berucap pada surat yang menginginkan kertas-kertas berkata dan
mengatakan dengan sepenuh hati, apa yang diinginkan penulisnya. Begitulah besar
keinginanku supaya penulis mengungkapkan isi hatinya. Segala yang ia rasakan
dan rahasiakan harus diungkapkan. Tentunya dengan kata dan diksi yang mewakili
kemegahan hati yang hadir dengan ketulusannya. Tiada terus berucap pilu dalam
setiap kesendiriannya atau meratapi nasib yang memisahkannya. Penulis harus
mengatakan dirinya kesepian atau mengejar nasibnya menjemput pujaan yang ia
impikan. Lewat lisan, sekalipun telah lama tak bertemu. Maupun surat yang harus
ia tuliskan dengan segenap jiwanya tanpa pernah menunggu balasan atasnya. Seharusnya
penulis mampu mengungkapkan semuanya dengan daya tarik katanya. Aku tau penulis
sanggup merangkai kata puitis itu. Kata yang membuatnya bangun dan agung
diantara jurang yang siap menelannya. Keyakinanku pada penulis begitu kuatnya. Karena
aku tau penulis harus memperjuangkan hidupnya. Cintanya. Tiada yang lebih
menyakitkanku selain penulis yang diam dan tak pernah ingat kelihaiannya
menulis. Mengungkapkan setiap keinginan, harapan, semangat dan sikap secara
detail dan rinci. Supaya tiada beban dan penasaran setiap pembaca yang menanti
untuk membaca setiap gubahannya. Maka, aku rasa penulis harus mengungkapkannya
dalam surat ini. Tentunya dengan hati yang penuh dan terisi,lalu menuangkan
segala yang ada tertumpah ruah dalam suratnya ini.
“Aku mencintaimu bukan karena cinta yang menghadirkan dirimu
dalam hidupku. Tapi, aku mencintaimu karena aku percaya bahwa yang Maha Pengasihlah
yang menghadirkan dirimu sebagai pasangan terbaik untukku.”
Bagaimana
aku mampu lupa, hatiku terasa begitu penuh saat kau balas setiap perkataanku. Kau
balas dengan diammu. Hanya soal kabar yang membuatnya lebih menarik sehingga
kau berkata padaku. Diammu adalah rasa iriku, rasa iriku kenapa masih saja tak
sanggup menarikmu lebih dalam. Menengok entah sekilas. Entah kenapa setiap
diammu aku percaya dan yakin. Waktumu bukan untuk menanggapi setiap ocehanku
yang tak berkesudahan. Ocehan yang seakan begitu khawatir ketika tak sanggup membuatmu
mencintaiku, khawatir ketika kau tak tertarik untuk melirik cintaku yang begitu
besarnya. Begitulah diriku dengan segala keras kepala dan membuatmu jadi takut
bahkan hilang kenyamanan. Diriku yang selalu mencoba menjalin tali-tali cinta
supaya benang merahnya jelas dan menyala. Diriku yang tak pernah mengerti
bagaimana menghormatimu dengan perasaannya. Diriku yang tak pernah mencoba
menelisik bagaimana seorang wanita dengan segala kecantikan, keanggunan,
kepintaran dan talentanya membawa perasaanya. Bagaimana diriku menjalin tali
itu jadi benang merah? Tanpa pernah aku coba mengertimu. Aku hanya mengenalmu,
namamu, asalmu dan keluargamu. Tapi tak pernah sekalipun aku mengerti dirimu. Bahkan
untuk menghayati dan berkorban untukmu tak pernah sampai di situ tahapku. Aku hanya
mampu sampai tahap mengenalmu. Tahap paling bawah dari segala tahap mencintai
sepenuhnya. Walaupun aku sendiri yakin kalau cintaku lebih besar dari tahapan
itu.
Betapa
kumengerti dan pahami ketika kuungkapkan perasaanku padamu. Dengan jawaban yang
keluar dari kata-kata itu. Kata yang memukul tapi memberikanku semangat. Kata yang
begitu menampar tapi memberikan gejolak. Kata yang selalu ingin membuatku
berani. Menantang segala resah dan kesendirian hati. Kesepian di antara cinta
yang menyala tanpa pencapaian. Memang aku tak mengharapkan pencapaian. Sebab bila
sudah tercapai ia akan hilang rasanya. Musnahlah sudah cintaku bila
mengharapkan sebuah pencapaian. Aku tak ingin cintaku seperti itu. Cinta bukan
soal pencapaian dan mendapat balasan. Cinta adalah anugrah dari-Nya yang mampu
menghadirkan nyawa terindah sebagai pasangannya. Yang selalu membuat berdesir
dan terus bahagia memiliki, memelihara dan menjaganya. Bukan cinta yang selesai
dan terbuang setelah pencapaian cintanya terbalaskan oleh orang yang dicintai. Aku
tidak mau mencapai apa-apa. Aku hanya mau mencintaimu setulusnya hatiku. Setulus
aku menjaga dan memeliharanya.
“ Akhirnya rindu itulah yang menemani hidupku, menemani jiwaku yang
bertumpah ruah akan cinta. Bukan kehampaan karena benang merah yang belum
menyatu antara kita. Begitulah diriku mencintaimu.”
Salamku untukmu selalu
Kairo,
15 April 2017
Suyuthiahmad
Suyuthiahmad
3 komentar:
good , kreatif, sukses pokoknya
Makasih komentarnya hafishoh ehehee. Amin. :)
Mantap Djiwa. Ditunggu karya-karya hebat selanjutnya bung.
Posting Komentar