3 min Reading
Add Comment
Hai pagi!
Senja tak akan
mengusikmu dengan sore yang mengajak malam untuk bersemayam. Ia tak akan berani
mencampuri urusanmu yang tersibuk dengan buih-buih air jadi embun. Sebab senja
cukup merasa eksis di waktu sore hari saja. Dan tak akan mengadu jika dirinya
stagnan di sana. Ia sudah memiliki teman temaran dan malam yang siap melahapnya
jadi musnah dan tertelan gelap dunia. Untuk mempermasalahkan kemusnahannya saja
ia tak mau meskipun jika ia mampu. Ia lebih senang menghantarkan orang-orang
mengenangnya sebagai keindahan yang terbias dari bola mata masuk ke hati dan
sanubari.
Taukah kau
wahai pagi, mengapa senja begitu setia pada sore hari? Tidak lain karena senja
akan memancarkan cahaya keemasan dari matahari menjadi orange yang menentramkan
hati. Dan senja paling suka jika dirinya jadi objek yang dikenang manusia. Dengan
berbagai foto dan kata-kata yang manusia sebut sebagai sunset. Sesekali lihatlah
senja berpose ketika para mata mengintipnya dari balik kamera. Yang berusaha membidik
kecantikan dirinya. Kau pun bahkan bisa ikut terpesona padanya. Bisa diibaratkan
senja itu bagai magnet yang menarik benda-benda jauh mendekat padanya. Apalagi yang
sudah dekat. Tapi masalahnya jika kau coba mengintip atau berusaha menemui
senja, bisa-bisa hancurlah waktu dan dunia ini. Meskipun belum saatnya tapi aku
yakin kau akan dapat bertemu keindahan senja itu kok.
Aku sendiri
terkadang suka menuliskan kata dan diksi jadi rumusan hati yang mewakili senja.
Seperti ini :
Senja
Mataku penuh ketika melihatmu
Bahkan hatiku tertaut kecantikanmu
Jiwaku melayang menikmati manismu
Dan ragaku hilang menancapkan rindu dan pilu
Bahkan hatiku tertaut kecantikanmu
Jiwaku melayang menikmati manismu
Dan ragaku hilang menancapkan rindu dan pilu
Semilir sepoi-sepoi menelisik
kulitku
Mengingatkanku lagi pada rindu dan pilu
Pada senja waktu itu
Begitulah rasanya rindu tanpa tandu
Beginilah pilu yang tak bosan untuk menyatu
Keduanya tak cari pamrih dariku
Tapi keduanya membuatku terpaku
Mengingatkanku lagi pada rindu dan pilu
Pada senja waktu itu
Begitulah rasanya rindu tanpa tandu
Beginilah pilu yang tak bosan untuk menyatu
Keduanya tak cari pamrih dariku
Tapi keduanya membuatku terpaku
Itulah senja, pagi.
Sabarlah,
meskipun terkadang senja lebih menarik manusia dari pada sunrise-mu. Tapi
tetap ada kok pengagummu yang setia pada karya-karyanya tentangmu.
Pagi, aku juga
suka senja. Tapi tak kupungkiri juga, aku menyukaimu. Tak mungkin aku bisa
sampai senja jika tak bertemu denganmu. Dengan embunmu, dengan sejuk udara
segarmu, dengan kicau burung dan suara juga gema pagi yang membangunkan tidur
lelapku. Jika aku ibaratkan kamu adalah awal dari misteri. Awal di mana mimpi
dibangun dan dikuatkan lagi, di mana sketsa kehidupan di rangkai dan dipolakan,
di mana segarnya otak menerima siraman rahani, di mana ketenangan dan
ketentraman menjelang hari yang melelahkan nanti, dan di mana hati merasakan
syukur karena nyawa belum meregang dari raga dan diri.
Untukmu, pagi. Aku menyukaimu.
Untukmu, senja. Aku mencintaimu.
Untukmu, senja. Aku mencintaimu.
"Jika senja adalah kata-kata, maka pagi adalah rupa-rupa"
Kairo, 06 Juli 2017
0 komentar:
Posting Komentar